Tersebutlah sebuah kisah di sebuah kerajaan di tanah jawa, tentang kisah hidup seorang pangeran yang meninggalkan segala kemewahannya di istana dengan menjadi rakyat jelata. Sang Pangeran yang merupakan putra ke 55 dari 79 bersaudara putra seorang raja besar di tanah jawa, merasa bahwa kehidupan di istana tidak bisa membahagiakan hidupnya. Sang pangeran tersebut kita kenal dengan nama Ki Ageng Suryomentaram. Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Beliau meninggalkan segala kemewahan hidup di istana, berganti dengan kehidupan yang sederhana di lingkungan pedesaan yang damai.
Ada kisah lain yang mirip dengan kisah di atas. Yaitu sebuah kisah tentang seorang pangeran di negeri di seberang sana. Pangeran tersebut tinggal di sebuah istana yang berisi segala macam "kebahagiaan dan kemewahan dunia. Dari hari ke hari sang pangeran hidup mewah dalam istana. Beliau hidup dalam limpahan kasih sayang yang teramat sangat dari kedua orang tuanya.
Bahkan pangeran tidak diijinkan meninggalkan istana, walaupun sejenak. Sang Raja tidak menghendaki pangeran menyaksikan "ketidakbahagiaan' di luar istana.
Akan tetapi takdir berkata lain, ketika pada suatu ketika Sang Pangeran menyaksikan kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan di istana. Beliau menyaksikan kemiskinan, orang tua, orang sakit dan segala bentuk "ketidakbahagiaan" di luar istana. Selama di istana, beliau memang tidak menemukan hal-hal di atas. Akhirnya, sang pangeran memutuskan untuk hidup sederhana bahkan menjadi seorang pertapa. Saat ini kita mengenal sang pangeran tersebut sebagai Buddha Gautama.
Atau tokoh masa kini seperti Dahlan Iskan, Ahmadinejad yang konon lebih memilih hidup sederhana. Kesederhanaan sepertinya adalah pilihan hidup bagi para tokoh di atas.
Kemudian sekelompok masyarakat yang hidup di provinsi banten, yang menamakan diri mereka suku baduy Kanekes bahkan hidup dalam pola hidup yang sama dengan puluhan bahkan mungkin ratusan tahun silam. Adat dan budaya dari nenek moyang, masih dipegang teguh hingga kini. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Menurut mereka, Kesederhanaan tidak mengekang kita, justru membela kita. Barangkali tepat apa pendapat mereka tentang kesederhanaan.
Di saat masyarakat modern mengeluh tentang listrik mati, macet dan jalan rusak, masyarakat baduy tetap tenang. Mereka bahkan tidak mengenal hal-hal tersebut. Mereka lebih memilih menolak masuknya listrik, jalan aspal dan segala bentuk kebudayaan asing di luar kebudayaan mereka. Ya, ketika listrik dan jalan aspal mulai memasuki wilayah mereka, maka sebuah kebudayaan akan bersiap-siap menuju kehancuran.
Pola hidup sederhana, barangkali tak sesederhana itu bisa dilakukan. Apalagi saat tolok ukur kesuksesan adalah materi, maka pola hidup sederhana bukanlah sebuah pilihan yang menarik.
Ketika materi sudah menjadi sebuah tujuan akhir sebuah kehidupan di dunia, maka segala sesuatu akan dilakukan demi meraih kekayaan materi. Pendidikan Moral dan pendidikan keagamaan yang ditempuh selama sekolah tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan materi. Singkatnya, apalah arti kejujuran jika ternyata tidak bisa menghasilkan kekayaan. Semua cara akan ditempuh demi mencapai kekayaan. Demi kebahagiaan anak cucu, rela mengorbankan hakikat kemanusiaan.
Dan kebudayaan kita sekarang, sedang menempatkan materi yang fana di atas segala-galanya.
Ads 970x90
Friday, April 6, 2012
Kekayaan itu bernama Kesederhanaan
Arif Rahmawan
Published
April 06, 2012
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)