Selasa, 5 Juni 2012, jarum jam menunjukkan pukul 04:20 ketika saya menginjak pedal gas, membelah udara pagi memacu kendaraan bersama dengan dua orang teman saya menuju Kawasan Puncak Suroloyo, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta. Sementara itu, suara azan subuh terdengar sayup-sayup dari beberapa masjid yang saya lewati.
Berdasarkan beberapa sumber, kami memutuskan menempuh perjalanan menuju Ke Suroloyo dengan melewati rute Grobogan-Purwodadi-Tol Gayamsari-Tol Tembalang-Tol Ungaran-Bawen- Magelang-Muntilan-Kalibawang-Suroloyo. Ketika melewati Jalan Tol Ungaran, terdapat pemandangan alam yang cukup menarik, kita bisa menyaksikan kawasan hutan dan pegunungan di sepanjang jalan tol. Tak berapa lama, kami keluar dari Jalan Tol Ungaran. Tol Ungaran berakhir di pertigaan di depan Kantor DPRD Ungaran. Perjalanan agak tersendat, ketika melewati beberapa lokasi yang sering menjadi titik kemacetan, misalnya di beberapa pabrik dan pasar di sepanjang Ungaran-Bawen. Kira-kira pukul 08:00 pagi kami tiba di Kota Magelang, sebuah kota yang sudah lama tidak saya kunjungi. Ternyata banyak hal telah berubah dari kota ini, di antaranya adalah kondisi jalan raya yang lebih bagus dibanding sepuluh tahun yang lalu. Dari Magelang kami menuju ke Muntilan. Di Muntilan kami melewati jalan satu arah. Jalan satu arah tersebut berakhir di pertigaan di sebelah pasar muntilan, jika berbelok ke kiri menuju ke Yogyakarta, sedangkan jika berbelok ke kanan menuju ke Magelang. Berhubung letak jalan menuju ke Suroloyo berada di sekitar pasar Muntilan, maka kami berbelok ke kanan kurang lebih 400 m. Tiba di perempatan kami berbelok ke kiri, karena ada petunjuk berupa arah menuju ke Wates.
Tiba di kawasan Suroloyo
Tiga puluh menit setelah meninggalkan muntilan, kami tiba di pertigaan, kami berbelok ke kanan karena itulah jalan masuk menuju Ke Puncak Suroloyo. Di pertigaan tersebut terdapat peta kawasan wisata yang ada di Suroloyo. Jalan menuju ke Puncak Suroloyo memang cukup menanjak. Pada awalnya kondisi jalan cukup bagus dan tidak terlalu curam, akan tetapi semakin mendekati puncak Suroloyo kondisi jalan semakin menanjak dengan aspal yang sudah rusak di beberapa bagian jalan. Untuk itu dibutuhkan kendaraan dengan kondisi prima, agar tidak terdapat masalah pada saat menuju ke Puncak Suroloyo.
Jeng jeeennng !!. Akhirnya, kami tiba di kawasan Puncak Suroloyo, Sebuah lokasi yang seringkali dihubungkan dengan berbagai cerita mistis. Berbagai hal-hal yang berhubungan dengan dunia tak kasat mata menjadi daya tarik bagi orang-orang yang memiliki keyakinan akan hal tersebut. Nilai mistik di lokasi tersebut sering dikaitkan dengan Keraton Yogyakarta, sejak pertama berdiri hingga hari ini. Ternyata banyak obyek wisata yang ditawarkan di lokasi ini. Pada umumnya lokasinya adalah berupa lokasi Pertapaan dan beberapa gardu pandang.
Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah sebuah tempat yang konon pernah menjadi tempat pertapaan Sultan Agung. Dari ketinggian lebih dari 1000m di atas permukaan laut, saya bisa melihat ke berbagai tempat yang lebih rendah. Sayang sekali, pada saat saya tiba di tempat tersebut, jam sudah menunjukkan pukul 10:30 sehingga tidak sempat menyaksikan sunrise. Dan juga tidak bisa leluasa melihat pemandangan alam. Lalu kami mencoba untuk mencari lokasi agar bisa menyaksikan pemandangan alam dengan lebih jelas, dan ternyata hasilnya sama saja, kami tetap tidak bisa melihat pemandangan alam dengan baik.
Kami menuju ke lokasi lain, yaitu Sendang Widodaren. Dengan berjalan kaki, kami tiba di Sendang WIdodaren. Terdapat petunjuk arah yang dibuat oleh mahasiswa UGM, sehingga lokasi tersebut bisa ditemukan dengan mudah. Akan tetapi kami tidak bisa masuk, karena terdapat pintu gerbang yang terbuat dari kayu yang digembok. Menurut, bapak penjaga warung di sekitar lokasi, untuk masuk ke sendang tersebut kita harus menemui Juru Kunci.
Kami hanya berhenti sebentar di lokasi tersebut. Dari pembicaraan dengan beberapa orang di sekitar lokasi, kami jadi tahu bahwa Sendang Widodaren merupakan tempat sakral. Sendang ini juga digunakan pada saat ritual “jamasan” (membersihkan pusaka) Keraton Yogyakarta. Lalu, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan mengendarai kendaraan, kami menuju ke lokasi lain yaitu Sendang Kadewatan. Letak Sendang Kadewatan agak susah ditemukan, mengingat tidak adanya petunjuk arah menuju ke Sendang tersebut.
Kami harus bertanya kepada beberapa penduduk di sekitar tempat tersebut, dan akhirnya kami tiba di Sendang tersebut. Pada awalnya saya mengira bahwa sebuah sendang merupakan sebuah tempat yang cukup luas seperti kolam yang penuh dengan air, ternyata Sendang Kadewatan merupakan tempat semacam pancuran alami yang keluar dari batu. Selai itu, sendang ini juga merupakan sumber mata air yang terus mengalir dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari penduduk di dusun Keceme, Gerbosari .
Dari Sendang Kadewatan, kami mencoba menemukan lokasi sebuah tempat yang bernama Pertapaan Mintorogo, lokasi pertapaan ini juga agak sulit ditemukan, meskipun terletak berdekatan dengan Sendang Kadewatan. Sekali lagi kami harus bertanya kepada Bapak bapak yang sedang mencari rumput di sekitar lokasi Sendang Kadewatan. Berdasarkan petunjuk dari bapak tersebut, kami tiba di Pertapaan Mintorogo. Memasuki area pertapaan, tercium aroma dupa yang menyengat.
Tapi hal tersebut tidak begitu kami hiraukan. Pertapaan Mintorogo merupakan sebuah tempat yang mirip seperti Goa. Berhubung tidak ada niat untuk melakukan pertapaan, maka kami hanya melihat sebentar dan kemudian berlalu pergi.Tak terasa hari sudah beranjak sore, maka kami memutuskan untuk meninggalkan kawasan Puncak Suroloyo.
Menatap Candi Borobudur dari Puncak Suroloyo
Akan tetapi pada saat mulai berjalan meninggalkan lokasi, kami tertarik untuk berhenti sejenak di sebuah tempat. Dari tempat tersebut, kami justru bisa melihat pemandangan dengan lebih jelas. Termasuk Candi Borobudur. Candi yang dibuat pada masa kejayaan Wangsa Syailendra yang perhan terkubur dan kebanggaan masyarakat Indonesia dan bahkan dunia tersebut tampak hanya berupa sebuah kotak kecil di kejauhan.
Belum selesai keheranan saya tentang bagaimana cara pembuatan Candi Borobudur-yang ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles setelah terkubur di bumi, saya disuguhi mahakarya ciptaan Tuhan, berupa alam semesta yang begitu indahnya. Hamparan sawah terbentang mirip sebuah karpet hijau. Bukit-bukit terjal di sekeliling Suroloyo berdiri dengan kukuh, seolah-olah mengatakan, cukuplah kesombongan manusia di dunia ini. Cukup lama saya dan teman-teman berada di tempat ini. Tertegun sejenak saya memandang karya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Dan kita dan kita dan kita dan kita hanya bisa takjub memandang kebesaran Gusti Allah sambil sesekali bertanya bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan jagat raya ini?. Lalu, dengan duduk bersila, saya memejamkan mata, sejenak mengheningkan cipta, merasakan desiran angin yang perlahan mengelus lembut sekujur tubuh. Bersyukur atas nikmat kehidupan ini. Bersyukur telah menjadi bagian dari planet Bumi, menjadi bagian dari gugusan bintang-bintang di angkasa, menjadi bagian dari Galaksi bima sakti, menjadi bagian dari jagat raya yang tanpa batas. Matur nuwun Gusti Allah...
Dan akhirnya waktu jugalah yang mengakhiri perjalanan ke puncak Suroloyo. Kami pergi dengan membawa sekeping cerita yang hari ini saya tulis di blog ini.