Monday, June 11, 2012

Pada Suatu Siang di Sebuah Perbatasan

Saya ingin bercerita tentang perjalanan saat berada di Puncak Suroloyo. Puncak para dewa. Sebuah puncak di mana terdapat tugu perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tepatnya di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Hari itu adalah hari Selasa, sudah pada tahu kan kalau hari selasa adalah hari setelah Senin?. Ketika itu saya dan dua orang teman saya kebingungan menemukan dua lokasi yang menjadi target kunjungan. Lokasi yang pertama adalah Sendang Kadewatan dan lokasi yang kedua adalah Pertapaan Mintorogo.

Di dalam kebingungan tersebut, tiba-tiba saya melihat sebuah papan yang bertuliskan Jual Bakso, Mie Ayam, Mie Goreng dan Mie Rebus. Tulisan tersebut terpampang pada sebuah papan kecil yang ditempel pada sebuah tiang di rumah tembok sederhana yang rupanya adalah sebuah warung. Dengan hati berbunga-bunga saya memutuskan untuk makan mie rebus di warung tersebut.

Singkat cerita kami makan mie dengan lahap. Selama prosesi makan mie, saya mencoba mencari informasi dari Bapak penjual mie tentang keberadaan kedua lokasi misterius di atas.

"Pak, nderek pirsa, sendang Kadewatan kalian Pertapan Mintorogo punika sebelah pundi nggih?", kataku menggunakan bahasa mandarin. Eh, bukan, bahasa Jawa. Artinya adalah : Pak, dimanakah letak Sendang Kadewatan dan Pertapaan Mintorogo ?.

"Njenengan mangke mandhap, kanan jalan, mangke wonten radosan alit. Trus wonten pring petung kathah mas", Bapak penjual mie yang usianya sekitar 28 tahun itu menjawab menggunakan bahasa Jawa. Artinya, Nanti kalian berjalan turun, di sebelah kanan ada sebuah jalan kecil. Di dekatnya ada rumpun Bambu.

"Nggih pak, matur nuwun", kami bertiga menjawab bersama-sama. Masing-masing menggunakan suara satu, suara dua dan suara tiga. Suara satu untuk Ahmad Dhani, Suara dua untuk Agnes Monica dan suara tiga untuk Anang Hermansyah. Dan para juri Indonesia Idol tersebut hanya tersenyum getir.

Eh, tapi tadi saya juga makan sebuah snack yang usianya mungkin seusia dengan saya. Snack tersebut bernama Rindu. Jaman saya kecil, saya pernah makan snack tersebut. Kisah legendarisnya snack tersebut selevel dengan Snack legendaris lain seperti Anak Mas, atau permen Davos.

Di warung itu kami berbicarak banyak hal, terutama tentang keadaan Puncak Suroloyo, lengkap dengan nuansa mistisnya.

Setelah berbicara panjang lebar, kami memutuskan untuk pamit. Tak lupa salah seorang teman saya membayar mie yang sudah kami makan tadi. termasuk Rindu, Kopi, teh dan jeruk.

Selanjutnya kami masuk ke kendaraan. Sambil menyunggingkan selembar senyum manis,  saya membunyikan klakson sebagai tanda perpisahan kepada Bapak penjual mie dan keluarganya dan juga ucapan terimakasih sudah mendapatkan informasi A1.

Perlahan kendaraan melaju di jalanan yang menurun, melewati rumah-rumah sederhana, kebun kopi dan teh, mushola, pipa pralon, pepohonan dan rumpun pohon bambu. Pohon Bambu?. Iya benar. Secepat kilat saya menghentikan laju kendaraan saya. Dengan berapi-api saya mencoba mengingat-ingat petunjuk yang diberikan oleh Bapak Penjual Mie. Menurut beliau, salah satu ciri lokasi Sendang Kadewatan adalah adanya sebuah jalan kecil dan serumpun pohon bambu di sebelah kanannya. Ternyata benar. Di samping pepohonan bambu itu terdapat jalan kecil. Jalan yang hanya bisa dilewati dengan berbanjar, satu persatu.

Kami segera mengeluarkan diri dari kendaraan dan melesat secepat angin menuju ke jalan kecil tersebut. Tapi karena masih ragu, kami menyempatkan diri bertanya kepada seorang Bapak yang sedang mencari rumput yang kira-kira berusia 70 tahun. Oleh beliau dikatakan bahwa jalan tersebut adalah benar jalan menuju ke Sendang Kadewatan.

Perlahan kami menyusuri jalan kecil selebar pematang sawah. Setelah berjalan kira-kira tiga puluh langkah kami menemukan tempat berbatu menyerupai sebuah Goa kecil.  Dari dinding batu tersebut mengalir air yang ditampung dalam sebuah bak yang terbuat dari semen dan bata berukuran kira-kira 50 cm x 100 cm. Terdapat juga pipa pralon. Inilah ternyata tempat itulah yang disebut dengan Sendang Kadewatan. Sendang tersebut dimanfaatkan untuk mengairi penduduk sekitarnya.

Untuk memuaskan diri karena sudah berada di Sendang Kadewatan, kami mencuci muka menggunakan sumber mata air yang masih murni. Segar sekali rasanya. Setelah puas berada di tempat ini. Kami segera meninggalkan tempat tersebut menuju ke Pertapaan Mintorogo. Apakah ingin bertapa?. Tidak. Titik, tidak perlu bertanya lagi !.

Lokasi Pertapaan Mintorogo ternyata cukup dekat. Sedekat aku di hatimu. Masih dengan berjalan kaki, saya keluar dari jalan berbambu petung tadi. Kembali ke jalan raya. Kami menyusuri jalan raya, ke arah di mana kami datang. Sampai akhirnya menemukan sebuah jalan kecil.

Dan atas takdir dari Tuhan, kami bertemu kakek-kakek yang kira-kira juga berusia 70 tahun, mungkin lebih. Dengan hormat, kami bertanya kepada beliau. Sambil memotong dan menata bambu untuk dipikul, dengan ramah, penuh welas asih, menggunakan bahasa Jawa kromo inggil, beliau menjawab bahwa memang benar ini adalah jalan menuju ke Pertapaan Mintorogo. Setelah mengucapkan terimakasih, saya segera melangkah lagi.

Tapi ketika saya mulai melangkah, sejenak saya terkesiap. Bau Dupa, mungkin juga kemenyan menyeruak masuk ke hidung saya tanpa bisa dibendung. Jam dua siang siapakah gerangan yang membakarnya. Entahlah. Yang jelas saya tetap melangkah mendekati Pertapaan Mintorogo, melewati sekelompok pohon bambu. Dan jeng jeng !!, Pertapaan Mintorogo tampak di depan mata. Pertapaan ini juga mirip sebuah goa kecil. Di sebelah goa tersebut terdapat sungai kecil. Pertapaan ini konon adalah pertapaan Raden Janaka. Di tempat inilah Janaka memperoleh pusaka berupa panah yang dipergunakan pada Perang Bharatayuda mengalahkan Raja Newatakawaca. Kebenarannya?. Silahkan simpulkan sendiri menurut pemahaman anda masing-masing.

Di depan Pertapaan mintorogo, kami bertiga berdiskusi membahas tempat tersebut. Sampai akhirnya kami segera meninggalkan tempat tersebut menuju ke jalan raya di mana kendaraan saya parkir.

Setibanya di tepi jalan raya, saya beristirahat sejenak. Melepas lelah. Duduk di tepi jalan . Berbicara ringan dengan dua orang teman saya. Tapi serentak pembicaraan terhenti, kami mendengar sebuah suara. Suara yang aneh. Suara hembusan. Suara tersebut mendekat. Dekat. Semakin mendekat. Datang dari jalan kecil tadi. Dan ternyata Duh Gusti, ternyata itu adalah suara nafas Kakek yang sedang nyunggi seikat bambu di atas kepalanya. Deru suara nafas Kakek terdengar sangat keras dari jarak 50 meter. Tertegun. Takjub. Malu. Mlongo. Ingin rasanya saya menangis  mendengar deru nafas sang kakek yang terdengar begitu keras berjuang yunggi bambu di atas kepalanya. Tapi Sang Kakek,  sambil berjalan tertatih menahan beban berat, beliau tetap menyapa dan kami mengangguk khidmat penuh hormat.

Kami menatap langkah-langkah kecil Sang Kakek hingga akhirnya hilang di ujung jalan. Saya dan kedua orang teman saya saling berpandangan dan kemudian beranjak pergi menuju ke kendaraan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Candi Borobudur.

Dari Suroloyo saya mendapat pelajaran tentang perjuangan tak kenal lelah dari sang kakek.......