Perjalanan hidup adalah sebuah proses dan kematian adalah final. Begitu pula kematian adalah jodoh yang pasti datang untuk mendampingi kita untuk melangkah di kehidupan yang baru.
Ya memang benar kematian memang jodoh setiap manusia yang hidup di dunia ini. Sebagaimana jodoh, kita harus menjemputnya dengan senang hati dan penuh kebahagiaan. Dengan demikian, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan bertekad dan berbuat yang terbaik untuk mempersiapkan jodohnya, kematian.
[caption id="attachment_1678" align="aligncenter" width="216"] Berteman Dengan Kematian. Sumber gambar : http://blogs.itb.ac.id[/caption]
Itulah yang terjadi pada Sinta Ridwan, seorang gadis cantik berusia 27 tahun yang menderita penyakit Lupus, sebuah penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya.
Melalui sebuah buku berjudul Berteman Dengan Kematian - Catatan Gadis Lupus, Sinta Ridwan menceritakan segala hal tentang dirinya dan penyakit Lupus.
Buku ini adalah sebuah memoar atau semacam buku harian atau catatan kehidupan seorang Sinta Ridwan sejak masa kecilnya hingga berumur 25 tahun.
Membaca buku ini, saya seperti diajak untuk mengenal Sinta Ridwan dan liku-liku kehidupannya.
Sinta bercerita dengan sangat lugas. Segala hal yang dialaminya sepertinya benar-benar ditulis di buku ini. Tidak hanya berbagai hal menyenangkan dalam kehidupannya, tetapi banyak hal yang menyedihkan yang juga ditulis olehnya.
Sinta bercerita tentang perjalanan hidupnya. Sinta kecil terlahir sebagai seorang gadis cilik yang sangat aktif dan cerdas. Kecerdasannya terus berlanjut hingga ke bangku sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Masa kecilnya dilalui dengan penuh kebahagiaan di desa di daerah Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan bangku kuliah ditempuh di Kota Bandung.
Selain cerdas, Sinta juga aktif mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler, Paskibra, Pramuka, musik dan berbagai kegiatan sejak dari bangku SD hingga perguruan tinggi.
Yang menarik, meskipun dia aktif di berbagai kegiatan, ternyata Sinta memiliki keluarga yang tidak bahagia. Hari-harinya dilalui dengan berbagai pertengkaran antara kedua orang tuanya.
Inilah barangkali yang luar biasa dari sosok Sinta Ridwan, dalam bayang-bayang keluarga yang tidak harmonis, dia mampu berprestasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Sampai akhirnya, Sinta didiagnosis oleh dokter, bahwa dia terkena penyakit Lupus. Rasa putus asa tak urung menyergapnya, ketika untuk pertama kalinya dia mengetahui bahwa dia menderita penyakit Lupus.
"Penyakit ini terjadi ketika imun yang seharusnya melindungi tubuh, justru menyerang tubuh sendiri", kata Sinta Ridwan.
Tapi Sinta tidak menyerah, justru dengan keterbatasannya dia merasa memiliki kekuatan tanpa batas. Dia justru semakin bersemangat mewujudkan segala impiannya di bumi yang fana ini.
Memang benar Sinta, bumi dan dunia ini adalah sesuatu yang fana, mimpi belaka. Manusia sesungguhnya tidak lama hidup di dunia ini. Tapi terkadang cobaan datang bertubi-tubi. Meski terkadang kita merasa bahwa kehidupan ini tidak adil. Tuhan tidak adil. Apa maksudnya menciptakan berbagai macam penyakit?. Untuk apa Tuhan memberikan sebuah penyakit kepada seseorang, sementara orang lain sehat. Mengapa Tuhan tidak membuat semua manusia ini sehat hingga akhir hayat?. Untuk apa semua ini kau ciptakan Tuhan?
Entahlah, kebesaran dan keadilan Tuhan seringkali tak pernah bisa saya takar dengan kemampuan akal saya yang terbatas.
Tapi, Sinta Ridwan melalui buku Berteman dengan Kematian membuka mata saya dan mungkin pembaca, bahwa sebuah penyakit tak pernah menyurutkan langkah untuk mewarnai kehidupan dengan warna yang indah. Bahwa sebuah penyakit tidak boleh menghalangi manusia untuk menyerah pada keadaan untuk terus memberi manfaat bagi manusia dan alam semesta.
Ads 970x90
Wednesday, November 21, 2012
Berteman Dengan Kematian - Catatan Gadis Lupus
Arif Rahmawan
Published
November 21, 2012
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)