Di gerobak sebuah warung sederhana yang bernaung di bawah tenda, puluhan nasi bungkus yang diikat dengan karet gelang tersaji dengan rapi. Di sampingnya berjejer bermacam gorengan : tempe goreng, pisang goreng, tahu isi dan lain-lain. Dua teko yang dipanggang di atas tungku menambah hangat suasana malam itu. Masyarakat Jogja menyebut warung jenis ini dengan nama angkringan. Oleh masyarakat Solo kerap dikenal dengan nama Hik atau sego kucing.
Angkringan tersebut terletak di jalan Yogya-Parangtritis. Sekitar 15 km dari kota Yogyakarta. Azan isya baru selesai berkumandang, ketika saya saya memesan dua teh hangat kepada bapak penjual angkringan. Masing-masing untuk saya dan seorang teman.
Dengan lahap saya menikmati nasi sambal ikan dengan lauk tempe goreng. Perut lapar membuat nasi tiga bungkus dengan cepat berpindah ke perut saya. Begitu juga sahabat saya, dia terlihat lahap menikmati nasi kucing. Ritual makan berakhir dengan minum teh hangat yang sudah tersaji. Kemudian kami membayar hidangan yang telah kami nikmati.
Lalu, perjalanan kami lanjutkan lagi. Malam itu kami bermaksud mengunjungi Pantai Parangtritis. Sebuah Pantai yang sangat indah yang terletak di Kabupaten Bantul. Kurang lebih 50km dari Kota Yogyakarta.
Sepeda motor melaju kencang menuju ke selatan, ke arah Pantai Parangtritis. Jaket yang kami kenakan cukup menahan hawa dingin dari udara yang kami sibak. Sepanjang perjalanan, tidak banyak kendaraan yang melaju ke arah yang sama dengan kami. Bahkan semakin mendekat ke arah pantai, suasana semakin sepi. Tapi saya tetap menarik gas motor menuju ke Pantai kebanggaan warga Yogyakarta ini.
Akhirnya kami tiba juga di parangtritis. Suasana pantai sepi sekali. Hanya debur ombak yang terdengar. Hujan gerimis menyambut kedatangan kami. Susah payah-di antara pasir pantai, saya menuntun sepeda motor untuk saya parkir di dalam sebuah warung di pinggir pantai.
Di situ kami berlindung di antara rintik-rintik hujan yang turun dari awan. Rintik hujan yang sepertinya rindu bertemu dengan laut. Entah berapa lama mereka terpisah jarak dan waktu. Ingin sekali sebenarnya saya mendekat ke arah laut untuk mendengar apa yang dikatakan hujan ketika bertemu dengan laut. Tapi belum sempat saya mendekat ke laut, hujan tiba-tiba berhenti. Tidak terdengar apa-apa, tapi mungkin mereka kecewa, dipertemukan dalam waktu yang sangat singkat.
Jas hujan yang saya letakkan di bawah jok sepeda motor segera saya gelar sebagai tempat duduk dan sekedar merebahkan badan yang terasa lelah selama perjalanan.
Parangtritis saat malam hari. Seperti itulah suasananya. Gelap. Hanya ada beberapa orang yang sengaja menikmati suasana pantai pada malam hari. Ada juga orang yang melakukan ritual di pinggir pantai.
Di pantai ini, saya hanya ingin menikmati kesunyian. Di bawah naungan langit yang tanpa batas, di pinggir air laut yang tak lelah berdebur dan di atas pasir. saya tak berdaya di hadapan maha Pencipta.
Mencoba memahami kehidupan yang diciptakan Tuhan, tidak banyak yang bisa saya pahami. Tapi saya mencoba menyimpulkan sendiri.
Bahwa tidak ada yang sia-sia dari kehidupan ini.
Ads 970x90
Saturday, December 1, 2012
Di Atas Pasir Parangtritis
Arif Rahmawan
Published
December 01, 2012
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)