Pengantar
Membaca1 adalah melihat serta
memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Sedangkan menurut Tampubolon2, membaca adalah suatu kegiatan atau cara
dalam mengupayakan pembinaan daya nalar. Dua definisi di
atas menjelaskan pengertian membaca secara umum, termasuk didalamnya membaca
buku, membaca status di social media atau membaca sms dari teman sekolah.
Dalam zaman modern ini, proses membaca
bagi anak-anak Indonesia tidak lahir secara alami, melainkan melalui proses
pengajaran dan pendidikan yang dimulai dari bangku sekolah Dasar (SD). SD merupakan
sekolah yang mengajarkan hal-hal mendasar sebelum menempuh jenjang yang lebih
tinggi. Dimulai dari Kelas 1, saat itu manusia-manusia kecil yang polos dan
lugu mulai berkenalan dengan aksara-aksara latin mulai dari huruf a sampai z.
Setelah hafal huruf a sampai z, anak-anak tersebut belum bisa mendapatkan
informasi apapun kecuali hafalan yang tidak mengandung makna.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih
bermakna, huruf tersebut harus dirangkai menjadi kata. Lalu, kata dirangkai
menjadi kalimat. Kalimat disusun menjadi paragraf, paragraf disusun menjadi
essay dan seterusnya. Semakin banyak susunan kata, maka semakin dalam makna
yang akan diperoleh pembaca. Ini berarti juga semakin sulit pemahaman. Untuk
itulah diperlukan ketekunan agar bisa memahami bacaan yang memiliki jumlah kata
yang banyak. Tak heran, seorang Gubernur Jawa Tengah, semasa masih sekolah tak pernah lepas
dari buku. Menurut cerita, Pak Ganjar setiap hari senin hingga
sabtu Sore rak pernah lepas dari buku, termasuk ketika di WC.
Unsur Budaya Jawa
Kebudayaan Jawa memiliki aspek yang
mencakup banyak bidang kehidupan manusia jawa. Menurut
Koentjaraningrat3, Jawa dianggap memiliki kebudayaan karena memenuhi
tujuh unsur yaitu :
1. Sistem Bahasa
2. Sistem
Pengetahuan
3. Sistem
Kekerabatan dan Organisasi Sosial
4. Sistem
Peralatan Hidup dan Teknologi
5. Sistem
Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup
6. Sistem Religi
7. Kesenian
Unsur tersebut
menjadi urat nadi bagi perkembangan budaya jawa sejak masa lalu hingga
sekarang. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketujuh unsur tersebut
semestinya tidak bersifat statis. Ada perubahan dalam ketujuh unsur tersebut.
Misalnya sistem bahasa, jika dulu masyarakat jawa hanya mengenal bahasa jawa,
saat ini masyarakat jawa mau tidak mau harus menerima adanya sistem bahasa dari
unsur budaya lain, misalnya bahasa Indonesia, yang merupakan perkembangan dari
bahasa melayu. Atau dalam sistem pengetahuan, jika pada masa lalu masyarakat
jawa hanya mengenal pengetahuan dari orang-orang terdahulu, misalnya
pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari. Kini, masyarakat jawa mau tidak mau
menerima pengetahuan dari masyarakat suku lain.
Semua bentuk
perubahan itu berlaku juga pada sistem kekerabatan dan organisasi sosial,
peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi/ mata pencaharian hidup, sistem
religi dan kesenian. Situasi ini perlu disikapi dengan baik oleh masyarakat
jawa, mengikuti perkembangan zaman tapi tetap nguri-uri budaya jawa.
Tradisi Membaca Buku dalam Budaya Jawa
Melakukan
telaah atau penelitian perihal hubungan masyarakat jawa dan buku mungkin
membutuhkan waktu khusus. Tapi secara sederhana, untuk mengetahui bagaimana
tradisi membaca buku masyarakat jawa bisa dilihat dari seberapa banyak karya
tulis yang lahir dari kebudayaan jawa dan bagaimana karya tulis tersebut diakses
oleh masyarakat jawa.
Sebelum itu,
ada pertanyaan yang tidak kalah penting untuk dikemukakan yaitu sejak kapan
masyarakat jawa mengenal karya tulis dan tentu saja aksara. Dalam literatur
sejarah, kerap dikemukakan bahwa bukti berupa prasasti menjadi indikator bahwa
masyarakat saat itu sudah mengenal aksara. Tapi, sayangnya prasasti dibuat oleh
kerajaan. Dengan demikian, besar kemungkinan hanya keluarga kerajaan atau kasta
tertentu yang mengenal aksara, sementara rakyat jelata mungkin belum mengenal
aksara.
Lalu,
bagaimana dengan keberadaan karya tulis yang lahir dalam tatanan masyarakat
jawa masa lalu hingga saat ini?
Mengingat
bahwa pada masa kerajaan, aksara hanya bisa dibaca oleh keluarga kerajaan atau
kasta tertenu, tentu saja tidak banyak karya
tulis yang dihasilkan kebudayaan jawa masa lalu. Tercatat ada beberapa
karya tulis yang diciptakan pada masa kerajaan, misalnya : Kitab
Negarakartagama dan Kitab Pararaton. Atau banyak tulisan yang ditulis para guru
spiritual atau pujangga sekelas R Ng. Ronggowarsito sdengan karyanya Serat
Kalatidha, Serat Wirid Hidayat Jati. Pada umumnya karya tulis tersebut
merupakan sarana untuk menyampaikan pengajaran spiritual. Anda bisa mendapatkan
banyak karya tulis yang dihasilkan masyarakat jawa dalam blog alang-alangkumitir.
Tapi,
lagi-lagi seperti juga karya tulis yang hanya beredar di kerajaan, karya tulis
yang berisi ajaran spiritual juga beredar terbatas bagi para murid-murid
perguruan spiritual saja.
Semua itu
menandakan bahwa tidak semua lapisan masyarakat saat itu bebas membaca karya tulis.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa secara umum tradisi membaca dalam
tradisi jawa masa lalu masih kurang optimal. Penyebabnya mungkin membaca karya
tulis saat itu tidak lebih penting ketimbang belajar ilmu kesaktian atau ilmu
kebijaksanaan. Lagi pula ada slogan terkenal yang karib terdengar dalam
masyarakat jawa, misalnya kitab teles atau ungkapan Papan Tanpo Tulis di mana untuk mempelajari sesuatu masyarakat jawa
kurang menyukai karya tulis sebagai sarana penyebarannya.
Akan tetapi,
dalam situasi terkini, menyesuaikan perkembangan zaman merupakan pilihan yang
tepat bagi kebudayaan untuk terus hidup dan dihidupi oleh generasi
selanjutnya. Tak ada salahnya melahirkan
budaya baru yakni budaya membaca bagi masyarakat jawa yang sebelumnya mungkin
hanya dinikmati kelompik tertentu. Secara bersamaan, budaya menulis juga perlu
digalakkan.
Catatan kaki :
1. KBBI
online