Ada hubungan
erat di antara Demokrasi, dan Pendidikan
Multikulturalisme. Ini bisa dipahami dari definisi keduanya. Demokrasi 1adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam
perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang
memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sementara, pendidikan multikulturalisme 2
dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan
dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dari
pengertian demokrasi di atas, kita bisa memungut kata antara lain, kebebasan
politik, hak, bebas dan setara. Sementara, dari definisi tentang pendidikan
multikulturalisme terkandung makna keragaman. Hubungan di antara keduanya bisa
dijelaskan dalam kalimat, pemahaman yang
benar tentang keragaman merupakan sebuah hal yang wajib dipahami dan
dilaksanakan dalam rangka menuju kehidupan demokrasi yang yang sehat dan beradab
yang menghargai dan mengakomodasi kebebasan politik secara bebas dan setara.
Ini berarti pendidikan multikulturalisme menjadi landasan penting yang dapat
mempercepat laju demokrasi sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia.
Sebelum
lebih jauh melihat implementasi pendidikan multikulturalisme, ada baiknya kita
menengok ke belakang. Sejarah pendidikan multikulturalisme di Indonesia bisa
dirunut pada kegigihan Bung Karno menemukan formula yang tepat untuk
menggambarkan keragaman di Indonesia. Kegigihan tersebut membuahkan ungkapan monumental
yaitu Bhinneka Tunggal Ika 3
yang diucapkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di
Istana Negara, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Ini
menandai bahwa perbedaan dan keragaman merupakan hal yang tidak menghalangi
persatuan dan kesatuan.
Melalui
sejarah pula, urgensi pendidikan multikulturalisme dalam rangka berdemokrasi juga
bisa dipahami. Sejak awal, Republik Indonesia merupakan negara yang menggunakan
demokrasi sebagai sistem bernegara. Berangkat dari itu, menjadi kewajiban bagi
setiap warga negara Indonesia untuk bersama-sama mempercepat laju demokrasi
demi meneruskan cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. Sebaliknya,
menghambat laju demokrasi sama saja hendak menggagalkan tujuan pendirian
Republik Indonesia.
Meskipun
begitu, setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, hambatan terhadap proses
pendidikan multikulturalisme masih saja terjadi. Apalagi sejak pemerintah Orde
Baru berkuasa, perbedaan dan keragaman menjadi hal yang tabu kala itu. Hasil
dari perbuatan orde baru tersebut masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
Di
berbagai tempat dan situasi, baik masyarakat maupun pemerintah masih belum
sepenuhnya bisa menyadari bahwa sejak awal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang
multikultur. Yang lebih menyedihkan, adanya tindakan kriminal yang dilakukan
sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Contohnya kasus
pembakaran masjid di Papua dan kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Cikeusik.
Berdasarkan
semua itu, penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme menjadi sesuatu yang
sangat mendesak. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan
multikulturalisme dirasa belum maksimal. Ini ditandai dengan : (1)belum adanya landasan hukum yang cukup kuat untuk
melaksanakan pendidikan multikulturalisme, (2) Di lapangan, keberadaan
pendidikan multikulturalisme juga belum bisa dirasakan.
Undang-Undang
yang dianggap menjadi landasan hukum pendidikan multikulturalisme adalah UU
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Akan tetapi menurut penulis, UU ini masih
menimbulkan multitafsir terutama jika dikaitkan dengan pendidikan
multikulturalisme. Harus ada UU yang secara implisit mewajibkan penyelenggaraan
pendidikan tersebut.
Di
lain pihak, dalam lingkungan pendidikan dasar di mana penulis beraktivitas
sehari-hari, kurikulum pendidikan yang ada cenderung mengajarkan penyamaan
berbagai karakter siswa yang pada dasarnya berbeda. Sistem pendidikan yang ada,
belum mampu mengakomodasi keragaman yang dimiliki oleh peserta didik. Ini
menyebabkan pendidik mau tidak mau harus menihilkan adanya perbedaan di
kalangan peserta didik dan secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa semua
peserta didik sama dalam segala hal.
Akhirnya,
penulis tiba pada kesimpulan bahwa melaksanakan pendidikan multikulturalisme di
Indonesia memang bukan hal yang mudah. Kultur dan budaya masa lalu bangsa
Indonesia yang cenderung menolak adanya perbedaan menjadi masalah yang harus
segera dicari solusinya. Di satu sisi, budaya menjadi identitas bangsa, akan
tetapi di sisi lain, budaya bisa menjadi penghambat pendidikan
multikulturalisme. Situasi ini menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan
dengan baik oleh pemerintah.
Catatan Kaki
1. Wikipedia, “Demokrasi”.https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi,
diakses pada tanggal 16 September 2015 pukul 02.00
2.
Hanum,
Farida. Pentingnya Pendidikan
Multikulturalisme dalam Mewujudkan Demokrasi di Indonesia.
3. Kaskus. “Sejarah dan asal usul Bhinneka
Tunggal Ika menjadi Semboyan Indonesia “, http://www.kaskus.co.id/thread/52ee07f4a3cb17674f8b4699/sejarah-dan-asal-usul-bhinneka-tunggal-ika-menjadi-semboyan-indonesia/1,diakses
pada tanggal 16 September pukul 02.20.