Sejarah perjuangan bangsa Indonesia memang selalu menarik untuk dipelajari, Bukan hanya sebagai materi pelajaran di sekolah, lebih dari mempelajari sejarah akan mampu mempengaruhi pola pikir generasi selanjutnya. Salah satu fakta sejarah yang sebelumnya tertutup rapat adalah bagaimana hubungan antara Bung Karno dan Karl Marx.
Kedua tokoh tersebut selama 32 tahun berkuasanya orde baru memiliki persamaan, diharamkan untuk dipelajari pemikirannya. Efek dari pengharaman ini sangat dahsyat, baik Sukarno maupun Karl Marx dianggap "musuh" pemerintah saat itu. Korban dari pengharaman ini tentu saja adalah generasi selanjutnya. Mereka alergi terhadap kedua tokoh tersebut.

Generasi muda saat ini, bahkan yang mengaku dirinya Pancasilais hasil didikan orde baru tentu akan kaget bukan kepalang manakala mereka membuka lembar-demi lembar sejarah Bung Karno. bagaimana tidak, selama ini Pancasila kerap dibenturkan dengan kominis, tetapi dalam karya-karya yang ditulis Bung Karno, dalam setiap sepak terjang Bung Karno memerdekakan bangsa, beliau kerap menggunakan teori-teori yang dikemukakan Karl Marx.
Tak heran begitu tingginya penghargaan Bung Karno terhadap Karl Marx, beliau menulis secara khusus tentang peringatan wafatnya Karl Marx dalam Fikiran Rakyat 83 tahun silam,
F.R (Fikiran Ra’jat, ed) nomor yang sekarang ini
adalah mendekati 14 Maret 1933. Pada hari itu, maka genap 50 tahun yang lalu,
yang Karl Marx menutup matanya buat selama-lamanya.
Marx dan Marxisme!
Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah
saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di
penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa
dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada
angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir
yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada
pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan
itu, suatu manusia yang “geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama
“datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx.
Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini
tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin,
bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu
akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya (lelahnya, ed.) ia bekerja
dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja
tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -lima puluh tahun yang lalu (tulisan
ini dimuat pada tahun 1933, ed.)-, melepaskan nafasnya yang penghabisan.
Seolah-olah mendengarkanlah kita dimana-mana negeri
suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 berseru: “E,
Kaum Proletar semua negeri, kumpullah menjadi satu.” Dan sesungguhnya! Riwayat
dunia belum pernah menemui ilmu dari satu manusia, yang begitu cepat masuknya
dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai ilmunya
kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi
ribuan dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan… begitulah jumlah
pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sangat sukar dan
berat bagi kaum pandai, maka “amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum
yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah
itu”.
Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang
mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan
bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand
Lassalle, yang teriaknya ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang
dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta,
membeberkanlah paham pertentangan klas: paham klassentrijd, paham perlawanan
zonder (tanpa, ed.) damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu saja! Ilmu
Dialektik Materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu
Verelendung, -semua itu adalah “jasanya” Marx. Dan meskipun musuh-musuhnya,
terutama kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan
diatas ini, meskipun lebih dulu, di dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui sudah
“menjawil-jawil” ilmu Historis Materialisme itu, meskipun teori harga lebih itu
sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir sebagai Sismondi dan Thompson,
-maka toh tak dapat disangkal, bahwa dirinya Karl Marx lah yang lebih
mendalamkan dan lebih menjalarkan teori-teori itu, sehingga “kaum melarat
kepandaian yang berkeluh kesah itu” dengan gampang segera mengertinya.
Mereka dengan gampang mengerti, seolah-olah suatu
soal yang “sudah mustinya begitu”-, segala seluk-beluknya harga lebih: bahwa
kaum borjuis lekas menjadi kaya karena kaum proletar punya tenaga yang tak
terbayar. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya Historis Materialisme:
bahwa urusan rezekilah yang menentukan segala akal pikiran dan budi pekertinya
riwayat dan manusia. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika:
bahwa perlawanan klas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya,
kapitalisme adalah “menggali sendiri liang kuburnya”.
Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu
dengan gampang saja masuk di dalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel
(sistem, ed.) yang “diteorikan” itu, yakni di dalam keyakinannya kaum yang
perutnya senantiasa keroncongan. sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh
angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini
berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropa
itu sebagian telah diterbangkan pula oleh taufan jaman ke arah khatulistiwa,
terus ke Timur, jatuh di kanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan
Hoang Ho, dan di kepulauan yang bernama kepulauan Indonesia.
Nasionalisme di dunia Timur itu lantas
“berkawinlah” dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu
baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup
yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen
Indonesia.
Karena ini, Marhaen pun, pada hari 14 Maret 1933
itu, wajiblah berseru:
Bahagialah yang wafat 50 tahun berselang!
Fikiran Ra’jat, 1933
sumber : Dapur.Sukarno.org